Study Kasus Tentang Sistem Kepercayaan Tradisional

BAB  I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Lingkungan Appasareng merupakan salah satu lingkungan yang ada di kelurahan Jennae. Dalam sejarah kehidupan  masyarakat, lingkungan Appasareng merupakan suku bugis dan penganut agama islam  yang taat menjalankan syariat agama Islam. Namun seringkali anggota masyarakatnya masih menampilkan pola hidup tradisional berkenaan dengan upacara iisiasi dan upacara adat. Seperti pada saat mendirikan rumah atau turuh kesawah

Jenis Upacara tersebut diatas bukan hanya menyangkut kehidupan sosial, ekonomi dan tradisi budaya akan tetapi jauh lebih luas lagi yaitu pemahaman keagamaan dan sistem kepercayaan tradisional. Praktek ini bertindak dari suatu asumsi dasar bahwa sejak zaman dahulu masyarakat bugis telah mengenal sistem kepercayaan. Antara lain adanya makhluk halus, kekuatan sakti dan arwah orang mati yang menguasai kehidupan mereka. Dalam usaha menanggulangi bala bencana yang timbbul dalam kekuatan tersebut, maka masyarakat meyakini  dan berhubungan dengan alam semesta guna menghindari  dampak yang ditimbulkannya

Dalam  Ilmu antropologi diakui bahwa manusia sadar akan adanya suatu alam dunia yang tidak nampak, yang ada diluar batas akal manusia. Dunia adalah dunia ghaib yang tak nampak. Dunia ghaib didiami oleh berbagai makhluk dan kekauatan ghaib yang tidak dapat dikuasai olehmanusia dengan cara biasa. Oleh karena itu, pada dasarnua ditakuti oleh manusia (Koentjara ningrat, 1977)

Dilingkungan Appasareng budaya tradisional yang dijadikan sebagai ritual disebut sebagai attoriolong  (warisan budaya leluhur) seperti kepercayaan terhadap roh leluhur yang disebut  dewata seuwaE/patotoE Dewa Tungal), percaya terhadap roh leluhur yang disebut tau lao, percaya terhadap tempat yang angker (onrong makare’) percaya terhadap benda-benda sakral yang difahami sebagai anu malebbi

Dari praktek kepercayaan tradisional di ata sebagai bentuk kebudayaan masyarakat hanyala merupakan hasil cipta manusia itulah sebabanya, sistem kepercayaan tradsiional biasanya dikategorikan sebagai bagian integral dari kebudayaan. Praktek seperti ini juga secara lambat laun mengalami perubahan sosial budaya ketika islam telah masuk ke Sulawesi Selatan (Mattulada, 1926). Setelah itu dimulailah proses sosialisasi dan enkulturasi Islam kedalam peradabamn Bugis yang disebut pangngadereng dimana syariat Islam dijadikan sebagai salah satu unsunya (Abdullah [ed], 1983) Isi dari pangngadereng; pertama ade, kedua rapang, ketiga; wari’; keempat bicara dan kelima dalah sara.

Di dalam latoa (kumpulan aturan kerajaan adat Bone) yang disusun setelah orangn Sulawesi Selatan mengenal Agama Islam, didalamnya termuat tentatng perwujudan nilai-nilai dan kaidah sosial budaya termasuk istilah pangadereng (Zainal, 1982)

Walaupun Masayrakat Sulawesi Selatan  pada umumnya sudah memeluk agama Islam pada khsuusnya di lingkungan appasareng juga sudah meyakinii islam sebagai agamanya, akn tetapi berbagai hal dalam tingkah laku dan tata nilai pra Islam masih berlanjut. Dapat dikatakan bahwa tingkah laku tersebut medapat legitimasi dari penguasa dan adat istiadat yang diakui oleh pangadereng. Sepeti pada masalah keturunan yang mengatur pelapisan masyarakt atau strata sosial  yan ditentukan oleh Wuri atau pandangan suci (sakral, makare) Bugis), pemujaan terhadap benda-benda pusaka yang kesemuanya ini pada hakekatnya bertentangan dengan syariat Islam (Abdullah, 1983)

Dari realitas tersebut terdapat banyak ketidak sesuaian atau pertentangan antara adat istiadat yang berlaku di masayrakat dengan aturan atau ajaran Islam yang sesungguhnya. Akan tetapi sejak awal telah dilakukakan penyesuaian-penyesuaian terhadap perbedaan tersebut agar tidak ada kecenderungan terjadinya konflik atau pertentangan yang nyata antara adat istiadat dengan hukum Agama yang mereka fahami.

0 comments:

Posting Komentar