A. Latar Belakang
Krisis ekonomi menerpa Indonesia pada tahun 1997 tersebut, diketahui total utang yang terakumulasi adalah US $ 120 miliar. Dari jumlah itu US $ 85 miliar di antaranya merupakan utang perusahaan besar. Seluruh jumlah utang tersebut 49% dimiliki oleh kreditur asing, sementara 72% dari total utang dalam bentuk mata uang asing. Krisis moneter yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1997 yang pada tahun 1998 berubah menjadi krisis multi-dimensional sebenarnya tidak lepas dari miss manajemen utang. Banyaknya perusahaan yang tidak bisa membayar kewajiban perusahaannya baik yang akan jatuh tempo maupun yang sudah jatuh tempo telah mengakibatkan runtuhnya perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia.
Menghadapi masalah tersebut, Indonesia memberikan fasilitas penyelesaian utang yang timbul, melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Satuan Tugas Prakarsa Jakarta. Dalam melakukan restrukturisasi keuangan ini pada umumnya perusahaan melakukan tiga hal yaitu penjadwalan utang (rescheduling), mengubah utang menjadi ekuitas (debt to equity swap), dan pembelian hutang (debt buy back).
Hal ini bisa dilakukan karena sangat bergantung pada strategi yang dipilih oleh para pelaku dalam melakukan restrukturisasi atas perusahaannya. Adapun kerangka kerja yang umumnya dilakukan dalam menjalankan restrukturisasi perusahaan:
Salah satu dari terobosan hukum tersebut adalah proses pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga hanya butuh waktu maksimal 30 hari. Namun, sekian tahun keberadaan pengadilan niaga, ternyata tidak lepas dari sorotan khususnya mengenai masalah integritas dan tak jarang putusan Pengadilan Niaga menjadi kontroversi dan unpredictable.
Beberapa kasus yang cukup menghebohkan diantaranya adalah : Pertama, kasus pailitnya PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI). Salah satu perusahaan asuransi joint venture terbesar di Indonesia ini harus dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga karena terlibat perselisihan mengenai deviden dengan PT Dharmala Sakti Sejahtera Tbk (DSS); Kedua, kasus kepailitan antara Fadel Muhammad melawan Bank IFI, Bank ING BARING dan BPPN.
Sorotan-sorotan terhadap pengadilan niaga menjadi suatu fenomena yang sangat menarik untuk dikaji. Salah satu pokok bahasan yang urgen sehubungan dengan pengadilan niaga adalah kompetensi dan kedudukan pengadilan niaga, karena dalam segala aktifitas pengadilan niaga tidak akan lepas dari batasan kompetensi dan keberadaan yang telah digariskan dalam Undang-Undang Kepailitan serta kelemahan-kelemahan terhadap putusan-putusannya yang tidak berkualitas.
B. Permasalahan
Krisis ekonomi menerpa Indonesia pada tahun 1997 tersebut, diketahui total utang yang terakumulasi adalah US $ 120 miliar. Dari jumlah itu US $ 85 miliar di antaranya merupakan utang perusahaan besar. Seluruh jumlah utang tersebut 49% dimiliki oleh kreditur asing, sementara 72% dari total utang dalam bentuk mata uang asing. Krisis moneter yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1997 yang pada tahun 1998 berubah menjadi krisis multi-dimensional sebenarnya tidak lepas dari miss manajemen utang. Banyaknya perusahaan yang tidak bisa membayar kewajiban perusahaannya baik yang akan jatuh tempo maupun yang sudah jatuh tempo telah mengakibatkan runtuhnya perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia.
Menghadapi masalah tersebut, Indonesia memberikan fasilitas penyelesaian utang yang timbul, melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Satuan Tugas Prakarsa Jakarta. Dalam melakukan restrukturisasi keuangan ini pada umumnya perusahaan melakukan tiga hal yaitu penjadwalan utang (rescheduling), mengubah utang menjadi ekuitas (debt to equity swap), dan pembelian hutang (debt buy back).
Hal ini bisa dilakukan karena sangat bergantung pada strategi yang dipilih oleh para pelaku dalam melakukan restrukturisasi atas perusahaannya. Adapun kerangka kerja yang umumnya dilakukan dalam menjalankan restrukturisasi perusahaan:
- Reorganisasi aset, hal ini meliputi akuisisi, merger dan divestasi;
- Membuat hubungan kepemilikan yang baru, hal ini meliputi spin-offs, split-offs dan equity carves-out.
- Reorganisasi klaim keuangan, hal ini meliputi likuidasi dan kepailitan.
- Strategi lain seperti joint ventures, going private transactions.
Salah satu dari terobosan hukum tersebut adalah proses pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga hanya butuh waktu maksimal 30 hari. Namun, sekian tahun keberadaan pengadilan niaga, ternyata tidak lepas dari sorotan khususnya mengenai masalah integritas dan tak jarang putusan Pengadilan Niaga menjadi kontroversi dan unpredictable.
Beberapa kasus yang cukup menghebohkan diantaranya adalah : Pertama, kasus pailitnya PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI). Salah satu perusahaan asuransi joint venture terbesar di Indonesia ini harus dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga karena terlibat perselisihan mengenai deviden dengan PT Dharmala Sakti Sejahtera Tbk (DSS); Kedua, kasus kepailitan antara Fadel Muhammad melawan Bank IFI, Bank ING BARING dan BPPN.
Sorotan-sorotan terhadap pengadilan niaga menjadi suatu fenomena yang sangat menarik untuk dikaji. Salah satu pokok bahasan yang urgen sehubungan dengan pengadilan niaga adalah kompetensi dan kedudukan pengadilan niaga, karena dalam segala aktifitas pengadilan niaga tidak akan lepas dari batasan kompetensi dan keberadaan yang telah digariskan dalam Undang-Undang Kepailitan serta kelemahan-kelemahan terhadap putusan-putusannya yang tidak berkualitas.
B. Permasalahan
- Bagaimana bentuk pengadilan niaga di Indonesia ?
- Bagaimanakah putusan kepailitan di Pengadilan Niaga ?
0 comments:
Posting Komentar